May 01, 2006

Waspadai Gempa Besar dari Zona Subduksi Mentawai

Bandung, Kompas - Berdasarkan sejarah penelitian geologi dan catatan siklus seismik gempa berskala 9,0 skala richter sekitar zona subduksi di lepas pantai Barat pulau Sumatera, khususnya sekitar Kepulauan Mentawai, saat ini berada di ujung siklus seismik tersebut. Oleh karena itulah perlu dilakukan persiapan, membuat simulasi, sehingga siap menghadapi kemungkinan gempa bumi berkekuatan besar.


Hal itu disampaikan pakar geologi gempa bumi Dr Danny H Natawidjaja, dalam diskusi kondisi Geologi Selat Sunda, Rabu (1/10), di Auditorium Museum Geologi, Bandung.

Pembicara lain adalah Dr Surono, Kepala Subdirektorat Vulkanologi dan Mitigasi, dan Dr Hamzah Latief, geolog dari Institut Teknologi Bandung.

Ketiganya sependapat, minimnya data-data geologi mengenai berbagai tempat di Indonesia menjadi kendala utama memperkirakan kemungkinan terjadinya bencana geologi berupa gempa bumi, letusan gunung api, atau tsunami. Oleh karena itu, penelitian geologi di berbagai tempat lebih banyak dilakukan, sehingga terkumpul data-data geologi yang memadai.

Berdasarkan sejarah penelitian geologi di sekitar Mentawai, Danny menjelaskan, didapatkan siklus seismik gempa bumi besar tahun 1381, tahun 1608, dan yang terakhir tahun 1833. Aktivitas seismik di zona subduksi itu mengangkat naik pulau-pulau di Mentawai sekitar dua meter. Melihat siklus itu, kita sekarang berada di ujung siklus seismik tersebut, cuma sulit mengetahui persis kapan gempa berkekuatan 9,0 skala richter itu akan terjadi.

Dia menguraikan, di Pulau Mentawai dipasang enam stasiun GPS (global positioning satelite). "Setelah dipasang alat di Mentawai, kita tahu pulau-pulau di Mentawai itu bergerak sekitar tiga sampai empat sentimeter ke arah Pulau Sumatera per tahun. Jadi, daerah di bawah muka laut itu terus mengumpulkan energi, nanti suatu saat ketika sudah tidak bisa ditahan lagi, akan dilepas sehingga terjadi gempa," ujarnya sambil menjelaskan data-data seismik menunjukkan gempa di zona subduksi sekitar Mentawai adalah gempa berulang.

Dari data pergerakan itu, lanjut Danny, bisa dilakukan perhitungan. Jika pergerakannya sekitar 3-4 cm, sedangkan pengangkatan Pulau Mentawai sekitar dua meter, dengan kondisi zona di bawahnya yang landai, untuk mengangkat dua meter itu dibutuhkan pergerakan di zona subduksi sekitar 10-12 meter. Artinya, bisa dihitung kemungkinan terjadi lagi gempa 250-300 tahunan. (oki)

April 25, 2006

Sejarah Gempa Bumi di Indonesia

Pengamatan gempabumi di Indonesia berawal pada tahun 1898 saat pemerintah Hindia Belanda mengoperasikan seismograf mekanik Ewing. Kemudian pada tahun 1908 dipasang seismograf Wiechert komponen horizontal yang pada tahun 1928 dilengkapi dengan seismograf Wiechert komponen vertikal. Pemasangan kedua jenis seismograf tersebut dilakukan di beberapa kota yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu dan Ambon. Dengan instrumen yang ada dilakukan pemantauan gempabumi meskipun dengan tingkat keakuratan rendah jika dibandingkan saat ini.

Pada tahun 1953 BMG sebagai instansi yang terkait dengan pengamatan gempabumi memasang seismograf Elektromagnetik Sprengnether di Lembang - Bandung yang disusul dengan pemasangan seismograf bertipe sama di Jakarta, Medan, Tangerang, Denpasar, Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado dan Ambon sehingga terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia. Seismograf 3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan tahun 1980-an.

Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne Geotech yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard Seismololgical Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan mengalami modifikasi pada tahun 1978. Kemudian pada tahun 1974 UNDP-Unesco mengadakan proyek pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempabumi serta pengembangan jaringan pemantau. Salah satu bentuknya adalah pemasangan seismograf periode pendek (Short Period Seismograph - Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia.
Era sistem pemantauan telemetri di BMG dimulai ketika pada tahun 1989 dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari LDG-Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun ini dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing-masing memiliki satu Pusat Gempabumi Regional (Regional Seismological Center) dengan pemantauan secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat Gempabumi Nasional (National Seismological Center). Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas GARNET. Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan merupakan jaringan pemantau seismik utama BMG.

Sejak tahun 1989 tersebut dapat dikatakan bahwa BMG memiliki dua tipe stasiun pemantau gempabumi di Indonesia. Pertama adalah stasiun telemetri yang tidak berawak dan lainnya adalah stasiun geofisika konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data gempabumi diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis parameter gempabumi sementara. Data tersebut juga dikirimkan melalui internet, faksimil dan sistem komunikasi data lainnya ke PGR dan PGN untuk dianalisis lebih lanjut. Secara keseluruhan saat ini terdapat 30 stasiun geofisika konvensional dan 28 stasiun seismik telemetri yang tersebar di lima balai wilayah di seluruh Indonesia. Balai wilayah yang juga berfungsi sebagai Pusat Gempa Regional ini terdapat di lima kota yaitu Medan, Ciputat, Denpasar, Makasar dan Jayapura.

Pada tahun 1993 dipasang seismograf periode panjang (Long Period Seismograph) 3 komponen di stasiun geofisika konvensional Tretes yang dilengkapi dengan TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf periode pendek 3 komponen SPS-3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika konvensional di seluruh Indonesia yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang, Kepahyang, Kotabumi, Tanjungpandan, Kupang, Palu, Ambon dan Sorong.

Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMG adalah dimulainya era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya seismograf 3 komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura. Keduanya hingga saat ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu 1997-2001 dengan adanya proyek kerjasama Indonesia dan Jepang yaitu Joint Operation of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET) dipasang seismograf jenis broadband di 23 stasiun di seluruh Indonesia. Proyek kerjasama ini dilanjutkan kembali antara NIED Jepang dan BMG untuk periode 2001-2006 dengan nama Operation & Data Exchange of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET continued). Pelaksanaan proyek ini meliputi pemasangan seismograf jenis Broadband di 22 stasiun seluruh Indonesia.

Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan) dipasang seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan kerjasama BMG-UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama kembali dipasang seismograf bertipe broadband yang merupakan salah satu dari 6 stasiun seismik CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization). Lima stasiun lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang, Sorong dan Jayapura. Seismograf ini direncanakan akan beroperasi sampai dengan tahun 2004.

Pada tahun 2003 dibentuk Sistem Pemantauan Seismik Nasional (National Seismic Monitoring System) dengan penambahan seismograf broadband di 27 stasiun-stasiun seismik seluruh Indonesia. Seismograf ini terintegrasi dengan jaringan yang telah ada dan mempunyai sistem pengolahan data real time berlokasi di Jakarta dengan 3 Pusat Seismik Regional Mini (Mini Regional Seismic Center) yang berlokasi di Padangpanjang, Kepahyang, Palu. Jaringan sistem pemantau yang dikembangkan hingga tahun 2005 ini juga meliputi 15 Digital Strong-motion Accelerograph. Diharapkan dengan adanya penambahan instrumen pengamat dan perluasan jaringan seismik maka pengamatan gempabumi serta fenomena yang menyertainya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.